SEJARAH DESA

SEJARAH BERDIRINYA DESA BANTUREJO


Desa Banturejo didirikan pada hari Rabu Paing, tanggal 4 Juni tahun 1862 di tandai dengan terpilihnya seorang kepala Kampung yang pertama yaitu Raden Setrowiryo.
Konon ketika terjadi peperangan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro pada tahun 1825 – 1830 dan akhirnya Sang Pangeran menunai kekalahan akibat penghianatan Kolonial Belanda dan akhirnya para pengikutnya bertebaran ke berbagai daerah demi keamanan dan kesinambungan perjuangan mereka.
Salah satu dari para prajurit Pangeran diponegoro adalah Raden Poncoreno putra seorang Demang yang menjabat di wilayah Kadipaten Kediri. Raden Poncoreno melangkahkan kaki menyusuri daerah selatan Pulau Jawa dan beliau singgah di kediaman Kakeknya yaitu seorang Tumenggung di wilayah Kadipaten Tulungagung yang bernama Raden Tumenggung Suratani II. Raden Poncoreno mendapat petunjuk dari kakeknya untuk mencari dan tinggal di wilayah tepi sungai Konto di utara Gunung Kelud. Sang Tumenggung mengenal tempat tersebut ketika ayahnya yaitu Raden Tumenggung Suratani I mendapat tugas dari kerajaan untuk berperang mendamaikan wilayah Kadipaten  Malang. Raden Poncoreno akhirnya mengikuti petunjuk kakeknya dan melanjutkan perjalananya sampai di wilayah tepi Sungai Konto yang tepatnya di wilayah Taman Wisata Selorejo yang pernah dijadikan Padang Golf. Beliau tinggal di sana hingga mendapatkan banyak anak cucu dan kerabat. Raden Poncoreno mempunyai empat orang saudara 1. Raden Poncotoyo (Mbah Karsiman) tinggal di Desa Siman, 2. Raden Anengpati (Mbah Jimat) tinggal di Desa Keling, 3. Raden Poncolegowo (Mbah Macan Wulung) tinggal di Wonosalam, 4. Raden Poncowati (Mbah Patih) tinggal di Desa Juwah. Raden Poncoreno menjadi orang yang dituakan di tempat itu. Dan apabila sanak kerabat berkunjung ke kediaman Raden Poncoreno mereka mengatakan akan ke Mbah No. Dari istilah itulah wilayah tempat tinggalnya di kenal dengan nama Mbano dan seiring dengan perkembangan zaman berawal dari istilah Mbah No menjadi Mbano dan akhirnya menjadi Banu. Banu inilah akhirnya menjadi cikal bakal Desa Banturejo. Raden Poncoreno mempunyai tiga orang putra 1. Raden Setrowirya 2. Nyi Blangur 3.Nyi Krompyong. Beliau tinggal di tempat ini sampai ajalnya tiba dan dimakamkan di makam keluarga di sebelah timur pemukiman Dusun Banu yang sekarang menjadi pemakaman umum Dusun Banu. Dan tidak ada catatan baik hari, tanggal maupun tahun kapan beliau meninggal. Beliau dikenal sebagai cikal bakal atau yang bedah krawang Dusun Banu yang menjadi cikal bankal Desa Banturejo.
Zaman berkembang terus orang orang yang tinggal di sanapun juga semakin bertambah, sekelompok orang yang tinggal di tempat yang dinamakan Banu tersebut,  membutuhkan seorang pemimpin, maka diangkatlah seorang yang bernama Raden Setrowiryo sebagai Kepala Kampung Banu pada waktu itu. Beliau adalah putra pertama Raden Poncoreno dan menjadi Kepala Kampung sampai tahun 1889.
Seiring dengan makin bertambahnya penduduk, makin meluasnya pemukiman maka layaklah jika Kampung Banu berdiri menjadi sebuah Desa sendiri maka diadakanlah pemilihan Petinggi atau Kepala Desa yang diselenggarakan pada hari Selasa Legi tanggal 20 Agustus tahun 1889 M atau tanggal 23 Dzulhijah 1306 H. Malam harinya dilaksanakan upacara pengangkatan dengan rangkaian acara yang di kenal dengan upacara Adad Ladrang yang dilestarika sampai sekarang tiap tiap selamatan Dusun Banu. Rabu paginya dilaksanakan selamatan atau kenduri sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT. Dengan menyembelih seekor kerbau yang masih muda.
Dari berbagai tata cara pada waktu pengangkatan Petinggi itu dilestarikan oleh warga menjadi tata cara selamatan dusun Banu hingga sekarang bahkan sampai kapanpun selama Desa Banturejo masih berdiri. Untuk itu kepada para generasi muda fahamilah desamu, laksanakan dan lestarikan adad budayanya disamping berupaya membangun desa yang lebih maju, aman dan sejahtera. 
 Makam R. Poncoreno, R. Wongsobaru, R. Setrowiryo, R. Setrowijoyo

SEJARAH PERJUANGAN PENDAHULU
SERIAL SEJARAH PEMBUATAN DAM BANU


Seiring dengan semakin berkembangnya warga masyarakat Desa Banturejo pada waktu itu, kebutuhan kehidupan sehari hari warga masyarakatkpun juga semakin bertambah, terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan. Sedang kebutuhan perairan sawah hanya mengandalkan sumber air Daren atau Tulung yang hanya cukup dan dapat mengairi sebagaian Sawah Banu dan Sawah Sromo saja.
Pemerintah Desa berharap untuk menambah lahan pesawahan untuk memenuhi kebutuhan pangan khususnya dari hasil padi. Maka dibukalah saluran irigasi dari aliran sungai Pinjal menuju lahan pertanian di Desa Banturejo. Yang dapat dijangkau adalah lahan pertanian yang ada di dusun Banu dan Sromo saja. Dengan upaya inilah lahan pertanian kering di dusun Banu dan Sromo bisa diubah menjadi lahan pesawahan. Lahan pesawahan baru antara lain adalah Sawah Kebon,Sawah Slumprit, Sawah Bedahan Kulon, Sawah Bedahan Wetan, Sawah Tugung, Sawah Butokalah, Sawah Dagan, Sawah Pule dan lain-lain. Saat ini sebagian sawah-sawah tersebut ditutup karena ada program pemerintah untuk membuat pembangkit listrik dan Waduk Selorejo.

Konon pemrakarsa pembuatan saluran irigasi tersebut adalah seorang cucu dari pendiri Desa Banturejo yang bernama Raden Donodiwiryo. Dan masa pembuatan saluran irigasi tersebut tidak ada data yang menyebutkan pada masa kepemimpinan seorang petinggi siapa dan pada tahun berapa.

Raden Donodiwiryo memimpin pembuatan saluran irigasi tersebut hanya menggunakan alat sebatang tongkat miliknya untuk memberikan tanda goresan untuk diikuti alurnya dalam pembuatan saluran dimaksud. Kurang lebih saluran tersebut sepanjang delapan kilometer. Pada saat pembuatan saluran irigasi tersebut melalui hutan belantara yang tidak mudah perjalanannya. Banyak rintangan yang bersifat gangguan mistik dari mahluk mahluk lelembut seperti jin dan lain sebagainya. Konon tidak sedikit gangguan setiap menemui aliran sumber sumber yang lain.




Konon diceritakan bahwa bahwa setiap melalui saluran sumber air seperti pada pertemuan saluran air Kali Pinjal dengan Sumber Goto I dan Goto II Raden Donodiwiryo bersama warga masyarakat diganggu oleh munculnya berbagai macam hewan melata seperti kalajengking, kelabang, andos kuning, kalapekuk dan lain sebagainya dengan jumlah yang tak terkirakan banyaknya. Akhirnya gangguan tersebut dapat terselesaikan atas pertolongan Tuhan Yang Kuasa dengan berbagai cara diantaranya memberikan sesajian sebagai sarana yang diyakini saat itu. Gangguan kedua pada saat saluran memalui Sumber Tirtoayu, diganggu oleh bermacam macam jenis ular besar kecil yang harus ditanggulangi dengan berbagai macam cara, yang akhirnya dapat ditanggulangi. Gangguan berikutnya ketika sampai di Sumber Pelus mereka mendapat gangguan berupa munculnya lintah dan pelus yang harus juga dibereskan. Sehingga sumber tersebut dinamakan Sumber pelus. Pembuatan saluran terus berjalan sampai bertemu dengan Sumber Kemplung, Sumber Larsat, Sumber Sebarung atau disebut juga Sumber Pehgayah. Di Sumber Pehgayah ini raden Donodiwirya mendapat gangguan lagi berupa cacing tanah yang jumlahnya menakjubkan sehingga saluran tersebut bagaikan megalir cacing tanah yang sangat mengerikan, dan itupun dapat terselesaikan dengan modal keberanian dan tekat yang besar. Pembuatan saluran dilanjutkan sampai bertemu dengan Sumber Madhe dan yang terakhir pada sumber Daren atau sumber Tolong. Di Sumber Daren ini puncak dari berbagai gangguan terjadi. Sangat mengherankan ketika di wilayah ini saluran tepat harus melalui sebatang pohon beringin putih yang tak kunjung roboh bila ditebang pohannya. Hari ini dipotong belum selesai esok paginya pohon tersebut pulih sediakala seperti tak pernah dipotong. Begitu pula seterusnya. Hampir hampir Raden Donodiwiryo putus asa mendapat gangguan kali ini. Akhirnya beliau bersemedi mencari petunjuk untuk menyelesaikan gangguan tersebut. Akhirnya beliau mendapat petunjuk agar pohon beringin tersebut ditancapi sebilah keris. Dan mendapatkan keris dari hasil semedinya di Makam Raden Poncotoyodi Desa Siman. Konon setelah pohon tersebut ditancapi keris dari hasil semedinya di Makam Raden Poncotoyo, dapat ditebang hingga roboh. Apa yang terjadi saat pohon itu tumbang, dari dalam pohon tersebut keluarlah seekor ular jengger berpentuk  pipih dan kabur masuk disemak belukar di sekitarnya. Konon diyakini bahwa ular tersebut sampai saat ini menjadi penghuni Sumber Daren. Karena itulah siapa saja menebang atau membawa pulang bambu dari tempat tersebut dengan tanpa hak maka akan mendapat berbagai gangguan dan mara bahaya. Wallahu a’lam bisshowab.

Setelah saluran irgasi tersebut selesai, warga Dusun Banu mesti melaksanakan kenduri yang dinamakan Selamatan Dawuhan setiap tahun pada hari Jum’at Legi bulan Muharam, sebagai ungkapan rasa syukur dan permohonan keselamatan untuk Desa Banturejo,  khususnya untuk saluran irigasi dan lahan pertanian yang memanfaatkan air tersebut.

Dengan keberhasilan membuka saluran irigasi tersebut Raden Donodiwiryo mendapat hadiah dari Pemerintah Hindia Belanda yaitu satu jabatan “Mantri Water Beheer” artinya Mandor Irigasi dan sebidang tahah perdikan atau Bumi Merdiko seluas satu bahu. Tanah perdikan tersebut dihapus saat Petinggi Raden Sadi Kertodiwongso menjabat, dikawatirkan kelak akan menjadikan perebutan anak cucu.
Sebagai generasi penerus kita harus bersyukur dan bangga pada jasa jasa para pendahulu, dengan tetap ikut menjaga saluran irigasi tersebut dan melestarikan adat budayanya.


SEJARAH TERBENTUKNYA MODIN

Setelah berdirinya Desa Banturejo yang dipelopori oleh Raden Poncoreno sebagai Bedah Krawang dan dilanjutkan oleh putra-putra keturunannya, yang pada waktu itu dimulai dengan berdirinya Kepala Kampung pada tahun 1862 M. yang dijabat oleh putera Raden Poncoreno yang bernama Raden Setrowiryo dan dilanjutkan berdirinya seorang Petinggi Pertama yaitu Raden Setro Wijoyo pada tahun 1889 M, maka perlu dilengkapi para Pamong / Perangkat Desa, konon sang Petinggi kebingungan siapa gerangan yang bersedia dan mampu menjabat sebagai Kaum / Modin di Desa Banturejo?
Konon pada waktu itu yang menjabat sebagai Asisten Wedono atau Camat adalah seorang yang bernama Ki Djojo Utomo yang berasal dari Kelurahan Sanan Kota Malang. Maka koordinasi demi koordinasi maka Ki Djojo Utomo menghadirkan kakak kandungnya dari Malang yang bernama Ki Madari yang akhirnya berganti nama Kyai Muhammad Alimun untuk diangkat sebagai Kaum / Modin di Desa Banturejo.
Kyai Muhammad Alimun inilah seorang Kaum / Modin pertama di Desa Banturejo, dan tidak ada data tahun berapa beliau mulai menjabat. Namun berdasarkan data yang ada di Kantor Urusan Agama Kecamatan Ngantang Kyai Muhammad Alimun pada tahun 1907 sudah menjabat sebagai Modin Di Desa Banturejo.
Kyai Muhammad Alimun menikah dengan Nyai Hasanah memiliki putra yaitu;
1. Nyai. Arpi'atun, 2. Nyai. Mutti'ah, 3. Ki Artam, 4, Ki Heru, 5. Ki Marzuki.
Nyai Arpi'atun menikah dengan Kyai Muhammad Sahar yang berasal dari Kauman Ngantang.
Nyai Mutti'ah menikah dengan Kyai Arif Kaswan.
Kyai Muhammad Alimun menjabat sebagai Modin sampai sekitar tahun 1919, kemudian dilanjutkan oleh Kyai Muhammad Sahar sampai tahun sekitar 1930 an.
Adapun urutan nama-nama yang pernah menjabat sebagai Modin di Desa Banturejo sebagai berikut;


1  .  MOCHAMMAD ALIMUN   mulai tahun       ( * )     -  1919
2  .  MOCHAMMAD SAHAR                              1919  -   ( * )
3  .  ABDUL MANAP                                           ( * )     -   ( * )
4  .  KASIYAT                                                       ( * )     -   ( * )
5  .  ARIEF KASWAN                                         ( * )     -  1950
6  .  ARUKAT                                                     1950    -  1968
7  .  SUMARDI                                                   1968    -  1970
8  .  SASTRO BASUKI                                     1970    -  1979
9  .  SUKRADI                                                   1980    -  1990
10.  HANAFI                                                      1990    -  1998
11.  JUMADI AL BAIHAQI                                2000   -  Sekarang


( * ) blm didapat data tahun pendukung yg akurat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar